May 06, 2019

Cerpen: Luka yang Tak Kunjung Padam


Namaku Putra Olive Perdana, biasa dipanggil Olive, atau Olif. Aku sedang duduk di bangku kelas 2 di salah satu SMA swasta ternama di Jakarta. Aku dulu anak keempat dari lima bersaudara yang hidup penuh kebahagiaan  dengan berkecukupan, sebelum mereka semua tiada. Ya, aku kini hidup bersama Pamanku, om Irawan dan tante Vina.
Dulunya, keluargaku memang adalah keluarga yang rukun, dan selalu kompak di setiap menghadapi masalah. Rumahku yang dahulu terletak di Jalan Syekh Abdullah No.3 Banda Aceh, adalah saksi bisu dari semua hari-hari yang keluargaku jalani bersama. Walau 5 bersaudara, kami tetap kompak. Sebagai kakak beradik, kami  tentu pernah berbeda paham dan akhirnya bertengkar, tetapi itu masih dalam batas kewajaran. Setelah itu, kami kembali baikan. Itu semua sebelum tsunami di Aceh 24 Desember 2004 yang lalu telah menyapu rumah kami dan ikut menelan ayah dan ibu kami. Aku sangat terpukul dengan kepergian mereka. Tapi itulah kehidupan, yang ada awal dan ada akhirnya.
Image result for cartoon boys sketsa
 Setelah kami semua menjadi anak yatim piatu, kami dibawa oleh tante kami ke Sorong, Papua. Tante Ani namanya.
Ya, sangat sangat jauh dari daerah asalku sebelumnya. Di Sana, aku kemudian berusaha menghapus duka dari kepergian ayah dan ibu sambil bersekolah dan bercanda ria bersama teman-teman baruku. Ketika duka yang pedih itu hampir selesai terobati di hatiku, tiba-tiba gempa yang berkekuatan 8,2 S.R menggemparkan Sorong, Papua dan kembali merenggut nyawa semua anggota keluarga baruku tanpa terkecuali. Sangat pedih rasanya, hingga air mataku tak dapat lagi kubendung.
Pada shalat Jumat di pengungsian, aku terus berdoa dan meratapi semua musibah yang semakin hari terus datang tiada henti. Aku sempat berpikir, Apa Allah sengaja ingin merenggut semua kebahagiaanku? Tapi aku kemudian teringat dengan nasihat ibu. Allah selalu merencanakan yang terbaik. Mungkin ada hikmah di balik ini semua.
Satu minggu di pengungsian, Paman Irawan dari Jakarta datang menjemputku. Tidak ada pilihan, aku harus ikut ke sana karena hanya dia satu-satunya keluargaku sekarang. Tetapi perjalanan tak semulus dan sesingkat  yang ada di pikiranku. Proses transit dari Sorong ke Makassar saja sudah membuat sekujur tubuhku terasa lemas dan begitu lelah. Penundaan keberangkatan pesawat akibat cuaca yang ekstrim itu delay hingga dua hari dan membuatku semakin kacau. Ketika kami kembali memulai perjalanan dari Makassar ke Jakarta, kesialan kembali terjadi dan kembali menimpaku. Pesawat yang kutumpangi mengalami kecelakaan. “Huh, memang betapa sialnya sih aku ini”. Kalimat itu terus menghantui benakku. Untunglah kami tidak jatuh di Hutan rimba atau di laut dalam, masih ada setetes keberuntungan dari segentong kesialan yang menimpa hidupku. Pesawat kami jatuh disekitar desa Manjaraya, desa yang lumayan maju dan tidak begitu ketinggalan di sekitar daerah Kalimantan Selatan. Korban pesawat kami berjumlah 23 orang dengan luka yang cukup serius. Korban lainnya hanya mendapat luka ringan. Kami kembali harus menggunakan pesawat. Tapi, kali ini pesawat yang kami tumpangi tidak sesejuk dan senyaman seperti sebelumnya,  pesawat yang sekarang kami tumpangi adalah pesawat darurat TNI AU yang sesak dan penuh dengan manusia dan tumpukan barang bawaan para korban, termasuk mungkin tas selempangku yang berwarna abu-abu. Tapi entahlah, Aku tak ingin mengurusi itu dulu. Sekujur tubuhku bermandikan peluh karena sudah lelah bukan kepalang. Belum lagi lukaku di sikut yang begitu perih akibat menumbuk kursi pesawat yang harus kujaga. Aku begitu lama menunggu landingnya pesawat ini. Aku sudah ingin cepat-cepat turun dari sesaknya pesawat ini kemudian membilas badanku yang terasa semakin lengket. Entah apakah perasaanku saja, tapi rasanya perjalanan ini memang sangat lama. Kurang lebih tiga jam, kami akhirnya tiba di Jakarta.
Saat tiba di Jakarta, dengan pakaian yang sudah sangat lusuh ditambah lagi perban di sikutku ini, membuat Aku begitu kelelahan. Aku kemudian diperkenalkan kepada Istri om Irawan dan beberapa pembantu di rumahnya. Sayangnya, mereka belum dikaruniai anak, padahal rumahnya yang megah dan luas itu sayang kalau hanya dihuni enam orang saja.
Di Jakarta, aku kemudian diperkenalkan dengan dunia baru. Aku hanya berusaha menjalaninya dengan sebaik yang aku mampu. Mungkin karena om Irawan dan tante Vina belum dikaruniai anak, jadi mereka telah menganggapku sebagai anak mereka sendiri. Mereka sangat memperhatikan kebutuhan belajarku. Walau begitu, aku tetap membantu para pembantu rumah tangga yang kerja di rumah ini. Aku harus ingat siapa aku dulu. Pekerjaan-pekerjaan kecil aku usahakan kukerja sendiri. Ini sekaligus latihan bagi diriku untuk masa depanku sendiri agar tidak selalu bergantung kepada orang lain.
Suatu hari, aku mendengar akan diadakannya OLIMPIADE SAINS NASIONAL di Bandung tahun 2008. Aku kemudian coba-coba ikut tes seleksi sebagai perwakilan DKI Jakarta Desember 2007. Susah dan sangat susah. Hanya kata itu yang menggambarkan tes seleksi itu. Tapi dengan berusaha ditambah doa, semuanya kuusahakan dilalui dengan tenang. Aku terus berdoa dan belajar keras hingga Alhamdulillah aku dinyatakan lulus seleksi duta DKI Jakarta dan menjadi satu dari 8 putra dan 15 putri perwakilan DKI Jakarta pada Olimpiade Sains di bidang Biologi. Senang, bangga, dan haru tercampur jadi satu. Paman Irawan sangat mendukung dan terus memberikan semangat untuk aku.
Tanggal 25 Mei 2008, kami berangkat ke Bandung untuk bertarung dan bersaing dengan 33 provinsi Indonesia. Selama kurang lebih menghabiskan waktu 2 bulan, aku berada di Bandung melalui tahap demi tahap penyisihan, dari 287 peserta Olempiade bidang Biologi, kemudian disisih menjadi 50 besar, 25 besar, 10 besar, 5 besar, hingga 3 besar.  Aku masih tersaring di 3 besar ini. Mungkin dewa kesialan yang selama ini mengikutiku sedang sibuk karena kebanjiran di kota besar seperti ini, atau sedang tertidur pulas berhibernasi, ataukah mungkin dia sedang menikmati libur panjangnya. Entahlah, tetapi mungkin salah satunya benar. Syukur dan Alhamdulillah, Aku akhirnya menjadi pemenang pada OLIMPIADE SAINS BIOLOGI tahun 2008. Aku sebenarnya tidak percaya. Apa ini cuma mimpi?  Aku sangat (tidak) ingin dibangunkan kalau ini memang ternyata benara-benar hanya mimpi. Tetapi memang ini adanya. Putra Olive Perdana utusan DKI Jakarta menjadi pemenang Olimpiade Sains Nasional bidang Biologi. Kemana Dewa kesialan yang kemarin-kemarin membuntutiku? Sudahlah, nikmati apa yang sedang terjadi dulu..
 Senang dan bangga seperti diriku, perasaan semua keluarga Om Irawan, sampai para bibi pembantu juga turut menelponku ketika pengumuman di TV daerah dan swasta marak beredar tentang olimpiade ini. Bulu kudukku sempat merinding karena Aku masih tidak menyangka bahwa ini benar-benar terjadi. Aku menjadi anggota Tim Olimpiade Sains Internasional. Aku sangat bangga dan terharu mengingat semua perjuangan om Irawan dan istrinya, guru-guruku, dan semua teman-teman yang selalu memberikan dukungan besar kepadaku.
Sebagai kado dari keluarga paman Irawan dan Tante Vina, Aku diajak jalan-jalan ke Pulau Komodo. Bukan hanya itu, Kado yang paling istimewa bagiku adalah aku diadopsi oleh keluarga Om Irawan sebagai anak kandung. Ini juga menjadi kado yang paling istimewa dan yang akan paling kukenang selama hidupku. Sekarang aku memanggil om Irawan dengan sebutan Papa, dan tante Vina kupanggil dengan sebutan Mama. Air mata mengucur tak hentinya akibat desakan haru yang begitu besar sesak di dadaku. Sekali lagi terlintas di benakku, Apa lagi yang akan terjadi, karena aku cemas kalau Dewa kesialan yang selalu menghantuiku itu kembali datang mengikutiku.
Sebagai langkah selanjutnya dari OLIMPIADE SAINS BIOLOGI tahun 2008 lalu, aku kemudian diberi karantina di Jakarta untuk mempersiapkan diri menjadi duta Indonesia pada Olimpiade Sains Biologi Internasional. Walau di karantina, aku tetap sering bertemu dengan Papa dan Mama karena mereka sering menjengukku. Mereka memang nampaknya sangat sayang kepadaku.
Pada tanggal 27 Desember 2008, kami tim olimpiade Internasional bidang Biologi sebanyak 12 orang bersiap untuk diberangkatkan ke Beijing, China. Tanpa melupakan semua nasihat Ibuku yang kini ada di surga, Aku terus berdoa dan belajar keras. Dari 183 tim dari berbagai negara, kami bertarung memberikan yang terbaik. Dan akhirnya Alhamdulillah, kami akhirnya bisa berdiri di 10 besar kompetisi itu. Sangat membanggakan. Kabar yang lebih membahagiakan adalah ide-ide inovasi yang kami paparkan di babak sepuluh besar ini akhirnya diapresiasi dan lulus ke babak lima besar. Betapa riangnya kami saat itu. Untuk tiba di babak ini saja sudah sangat, sangat, dan sangat (belum) membanggakan bagi kami. Segera kuberitahukan kabar gembira ini kepada Papa dan Mamaku. Di selesai shalat Isyaku ini, aku berdoa, berterimakasih kepada Allah, dan kudoakan Ayah, Ibu, dan Semua kakak-kakakku agar mereka diberikan tempat yang layak di sisi-Nya. Tak kulupa ucapan terima kasih kepada Allah yang telah mengantarku hingga berada di tempat ini.
Babak lima besarpun tiba. Semua teman rekan-rekan setimku mulai guncang karena gugup menghadapi kompetisi ini. Wajar saja, hanya kami yang mungkin menurut kami paling (tidak) siap menghadapi lima besar kompetisi ini. Aku kemudian berinisiatif membangkitkan kembali semangat mereka. “Ayo teman-teman! Kita harus semangat! Berdiri di tempat ini tentu bukan hanya sekedar kebetulan. Semuanya berkat perjuangan kita bersama! Ayo kita buktikan kalau semua harapan orangtua kita, guru-guru kita, dan berjuta harapan orang Indonesia lainnya yang ada di pundak kita saat ini dapat kita wujudkan dengan tekad dan keyakinan yang kuat. Ayo kita usahakan yang terbaik! Kita pasti bisa dengan kerja keras dan beribu doa yang telah kita lakukan selama ini!  Aku yakin kita anak Indonesia, dan kita pasti bisa!“
Tak kusangka, respon teman-temanku yang hening sesaat itu menjadi sangat menggebu-gebu bagaikan api yang baru saja memakan kayu bakar yang kering dan tertumpah minyak. Sangat membara. Mata mereka kemudian menjadi sangat cerah dan memancarkan energi positif yang begitu besar. Aku merasakan atmosfer semangat yang membara itu memang sangat-sangat besar. Aku sempat merinding merasakan semangat yang berkobar itu, kemudian membuatku seakan terkontak energi yang sangat besar dan akhirnya membuat ku dan teman-temanku ini bekerja semaksimal mungkin. Kalaupun kalah, setidaknya Aku bangga karena kami kalah dengan kondisi kalah terhormat.
 Setelah babak lima besar akhirnya diumumkanlah pemenang olimpiade biologi Internasional ini. Karena begitu gugup, aku ke kamar kecil sesaat sebelum pengumuman. Di kaca dinding WC itu kemudian kutatap dalam-dalam mataku sendiri, kemudian aku bertanya “Kamu sudah siap? Apa kamu sudah benar-benar siap dengan kalah atau menangnya kamu di kompetisi ini? Ingatlah bahwa ada berjuta-juta harapan sedang kamu pikul di pundakmu saat ini. Apa kamu sudah siap?”
Kemudiankurasakan  hati kecilku sendiri yang menjawab dengan tegas “Ya! Aku memang sudah sangat siap. Siap atau tidak siap kondisi fisikku, kondisi mentalku menyatakan siap dengan semua yang akan teradi.  Aku sudah berjuang sangat keras hingga berada di tempat ini. Suatu kebanggaan besar untuk berdiri di tempat ini. Tidak semua orang bisa sampai di sini. Menang atau kalah, Aku sudah sangat siap karena kami sudah memberikan yang terbaik.” Tak kurasa, air mataku sudah membanjiri lagi pipiku ini. Kondisi yang begitu hening ini membuat aku menjadi entah sangat merasakan keharuan yang begitu besar. Segera kusapu air mata itu dan aku kemudian bersegera kembali menuju ke tempat pengumuman.
Setelah keluar dari kamar kecil itu, kulihat salah seorang temanku mengucurkan air mata. Saat itu mataku sih memang masih merah dan berkaca-kaca.  Yang lainnya kulihat saling berpelukan dengan mata yang berkaca-kaca pula. “Apa yang terjadi?” benakku berucap.
 Aku menjadi sangat bingung dan penasaran dengan kejadian apa yang baru saja kulewatkan. Mengapa semua orang terlihat haru dan seakan ikut merasakan apa yang baru saja kurasakan. Farhan berjalan kearahku. Kupandangi matanya yang merah sedang menangisi sesuatu yang Aku sendiripun belum tahu.
“Olive! Kamu adalah motivator yang cerdas dan handal!” Hanya itu yang Ia katakan. Farhan memegang kedua pundakku dan kemudian diam hening tanpa kata lagi. Ia hanya mengucurkan air matanya yang kulihat sangat deras. Aku sebenarnya belum sepenuhnya paham dengan perkataan Farhan. Setelah beberapa menit terdiam, Farhan kembali berbicara. “Idemu tentang inovasi bioteknologi itu diterima dan memenangkan olimpiade ini Oliv! Gue bangga bisa kenal kamu Liv! Kamu bakar semangat kami semua dan kemudian menggagas sebuah ide yang bisa mengubah masa depan. Luar biasa!” Senyum Farhan mulai Nampak diantara ekspresi sedihnya sedari tadi mengalir di hadapanku. Entah Selama beberapa menit itu Aku merasa sangat hening padahal Aku sedang berada di tengah gemuruh tepuk tangan dan sorak-soray orang-orang yang hadir di acara ini.
Aku tak menyangka, tim kami dari Indonesia memenangkan babak lima besar dan akhirnya memperoleh medali emas kompetisi ini. Sekali lagi dalam hidupku, semua orang mengucurkan air mata dan seakan tak ada henti-hentinya. Termasuk air mata yang megucur di pipiku ini. Air mata haru ini begitu deras mengalir mengingat semua perjuangan kami, perjuangan pembimbing kami, orangtua kami, teman-teman kami, semuanya. Kami naik ke panggung megah dan diperhatikan ribuan pasang mata dengan iringan tepuk tangan yang bergemuruh dan sorak-soray orang-orang yang hadir di acara ini. Aku berdiri di tempat ini. Aku bangga! Seutas medali emas kemudian dikalungkan di leherku dan begitu pula di leher teman-temanku. Kami turun dengan berkalung medali emas. Suatu momen yang paling membahagiakan di dalam hidupku dan tidak akan kulupakan sepanjang hayatku. Putra Olive Perdana, 16 Tahun, anak Indonesia, satu dari 12 orang Tim Olimpiade Biologi Internasional pulang dengan medali emas. Subhanallah. Andai Ayah dan Ibu masih ada. Andai Kakak-kakakku masih ada, mereka juga akan ikut tersenyum bangga menyaksikan prestasi kami ini. Semoga mereka tenang di alam sana.
Setibaku di Tanah Air, aku dijemput oleh banyak sekali masyarakat yang tak sabar menyaksikan tibanya Tim Olimpiade Biologi Internasional yang pulang membanggakan Indonesia. Mulai dari pejabat-pejabat negeri, orang-orang terdekat kami, pokoknya ada ribuan orang yang memadati bandara Halim saat itu, termasuk para reporter, serta teman-teman kami semua hingga Nampak seperti semut-semut yang mengerumuni sekeping biang gula. Semua menjemput kami dengan rasa bangga. Di sini kulihat begitu banyak pejabat yang hadir dan bersalaman dengan kami, Bapak presiden, Menteri Pendidikan, dan pejabat lainnya yang tak bisa kusebutkan satu per satu. Papa dan Mamaku langsung memelukku dengan air mata haru mereka yang tak hentinya mengalir. Air mataku secara otomatis kembali mngalir deras hanyut dalam keharuan itu.
Sesaat, aku berpikir ke mana dewa sial yang dulu sering membuntuti aku. Apakah dewa kesialan memang sedang libur panjang, atau dia sudah lengser dari hidupku, kuacuhkan pikiran itu dan aku kembali menikmati apa yang saat ini terjadi. Aku sadar semua ini berkat dorongan dari Papa dan Mama, serta semua guru-guruku, teman-temanku, termasuk dorongan kedua orang tuaku yang telah tenang di alam sana. Tanpa mereka semua, kami tidak mungkin bisa seperti ini. Terima Kasih Tuhan, Terima kasih atas semuanya yang kau berikan di balik hikmah dari tangis yang tak kunjung padam.



0 comments:

Post a Comment