Namaku Putra Olive Perdana, biasa dipanggil Olive, atau
Olif. Aku sedang duduk di bangku kelas 2 di salah satu SMA swasta ternama di
Jakarta. Aku dulu anak keempat dari lima bersaudara yang hidup penuh
kebahagiaan dengan berkecukupan, sebelum
mereka semua tiada. Ya, aku kini hidup bersama Pamanku, om Irawan dan tante
Vina.
Dulunya, keluargaku memang adalah keluarga yang rukun, dan
selalu kompak di setiap menghadapi masalah. Rumahku yang dahulu terletak di
Jalan Syekh Abdullah No.3 Banda Aceh, adalah saksi bisu dari semua hari-hari
yang keluargaku jalani bersama. Walau 5 bersaudara, kami tetap kompak. Sebagai
kakak beradik, kami tentu pernah berbeda
paham dan akhirnya bertengkar, tetapi itu masih dalam batas kewajaran. Setelah
itu, kami kembali baikan. Itu semua sebelum tsunami di Aceh 24 Desember 2004
yang lalu telah menyapu rumah kami dan ikut menelan ayah dan ibu kami. Aku
sangat terpukul dengan kepergian mereka. Tapi itulah kehidupan, yang ada awal
dan ada akhirnya.
Setelah kami semua
menjadi anak yatim piatu, kami dibawa oleh tante kami ke Sorong, Papua. Tante
Ani namanya.
Ya, sangat sangat jauh dari daerah asalku sebelumnya. Di
Sana, aku kemudian berusaha menghapus duka dari kepergian ayah dan ibu sambil
bersekolah dan bercanda ria bersama teman-teman baruku. Ketika duka yang pedih
itu hampir selesai terobati di hatiku, tiba-tiba gempa yang berkekuatan 8,2 S.R
menggemparkan Sorong, Papua dan kembali merenggut nyawa semua anggota keluarga
baruku tanpa terkecuali. Sangat pedih rasanya, hingga air mataku tak dapat lagi
kubendung.
Pada shalat Jumat di pengungsian, aku terus berdoa dan
meratapi semua musibah yang semakin hari terus datang tiada henti. Aku sempat
berpikir, Apa Allah sengaja ingin merenggut semua kebahagiaanku? Tapi aku
kemudian teringat dengan nasihat ibu. Allah selalu merencanakan yang terbaik.
Mungkin ada hikmah di balik ini semua.
Satu minggu di pengungsian, Paman Irawan dari Jakarta datang
menjemputku. Tidak ada pilihan, aku harus ikut ke sana karena hanya dia
satu-satunya keluargaku sekarang. Tetapi perjalanan tak semulus dan
sesingkat yang ada di pikiranku. Proses
transit dari Sorong ke Makassar saja sudah membuat sekujur tubuhku terasa lemas
dan begitu lelah. Penundaan keberangkatan pesawat akibat cuaca yang ekstrim itu
delay hingga dua hari dan membuatku semakin kacau. Ketika kami kembali memulai
perjalanan dari Makassar ke Jakarta, kesialan kembali terjadi dan kembali
menimpaku. Pesawat yang kutumpangi mengalami kecelakaan. “Huh, memang betapa
sialnya sih aku ini”. Kalimat itu terus menghantui benakku. Untunglah kami
tidak jatuh di Hutan rimba atau di laut dalam, masih ada setetes keberuntungan
dari segentong kesialan yang menimpa hidupku. Pesawat kami jatuh disekitar desa
Manjaraya, desa yang lumayan maju dan tidak begitu ketinggalan di sekitar
daerah Kalimantan Selatan. Korban pesawat kami berjumlah 23 orang dengan luka
yang cukup serius. Korban lainnya hanya mendapat luka ringan. Kami kembali
harus menggunakan pesawat. Tapi, kali ini pesawat yang kami tumpangi tidak
sesejuk dan senyaman seperti sebelumnya,
pesawat yang sekarang kami tumpangi adalah pesawat darurat TNI AU yang
sesak dan penuh dengan manusia dan tumpukan barang bawaan para korban, termasuk
mungkin tas selempangku yang berwarna abu-abu. Tapi entahlah, Aku tak ingin
mengurusi itu dulu. Sekujur tubuhku bermandikan peluh karena sudah lelah bukan
kepalang. Belum lagi lukaku di sikut yang begitu perih akibat menumbuk kursi
pesawat yang harus kujaga. Aku begitu lama menunggu landingnya pesawat ini. Aku
sudah ingin cepat-cepat turun dari sesaknya pesawat ini kemudian membilas
badanku yang terasa semakin lengket. Entah apakah perasaanku saja, tapi rasanya
perjalanan ini memang sangat lama. Kurang lebih tiga jam, kami akhirnya tiba di
Jakarta.
Saat tiba di Jakarta, dengan pakaian yang sudah sangat lusuh
ditambah lagi perban di sikutku ini, membuat Aku begitu kelelahan. Aku kemudian
diperkenalkan kepada Istri om Irawan dan beberapa pembantu di rumahnya.
Sayangnya, mereka belum dikaruniai anak, padahal rumahnya yang megah dan luas
itu sayang kalau hanya dihuni enam orang saja.
Di Jakarta, aku kemudian diperkenalkan dengan dunia baru.
Aku hanya berusaha menjalaninya dengan sebaik yang aku mampu. Mungkin karena om
Irawan dan tante Vina belum dikaruniai anak, jadi mereka telah menganggapku
sebagai anak mereka sendiri. Mereka sangat memperhatikan kebutuhan belajarku.
Walau begitu, aku tetap membantu para pembantu rumah tangga yang kerja di rumah
ini. Aku harus ingat siapa aku dulu. Pekerjaan-pekerjaan kecil aku usahakan
kukerja sendiri. Ini sekaligus latihan bagi diriku untuk masa depanku sendiri
agar tidak selalu bergantung kepada orang lain.
Suatu hari, aku mendengar akan diadakannya OLIMPIADE SAINS
NASIONAL di Bandung tahun 2008. Aku kemudian coba-coba ikut tes seleksi sebagai
perwakilan DKI Jakarta Desember 2007. Susah dan sangat susah. Hanya kata itu
yang menggambarkan tes seleksi itu. Tapi dengan berusaha ditambah doa, semuanya
kuusahakan dilalui dengan tenang. Aku terus berdoa dan belajar keras hingga
Alhamdulillah aku dinyatakan lulus seleksi duta DKI Jakarta dan menjadi satu
dari 8 putra dan 15 putri perwakilan DKI Jakarta pada Olimpiade Sains di bidang
Biologi. Senang, bangga, dan haru tercampur jadi satu. Paman Irawan sangat
mendukung dan terus memberikan semangat untuk aku.
Tanggal 25 Mei 2008, kami berangkat ke Bandung untuk
bertarung dan bersaing dengan 33 provinsi Indonesia. Selama kurang lebih
menghabiskan waktu 2 bulan, aku berada di Bandung melalui tahap demi tahap
penyisihan, dari 287 peserta Olempiade bidang Biologi, kemudian disisih menjadi
50 besar, 25 besar, 10 besar, 5 besar, hingga 3 besar. Aku masih tersaring di 3 besar ini. Mungkin
dewa kesialan yang selama ini mengikutiku sedang sibuk karena kebanjiran di
kota besar seperti ini, atau sedang tertidur pulas berhibernasi, ataukah
mungkin dia sedang menikmati libur panjangnya. Entahlah, tetapi mungkin salah
satunya benar. Syukur dan Alhamdulillah, Aku akhirnya menjadi pemenang pada
OLIMPIADE SAINS BIOLOGI tahun 2008. Aku sebenarnya tidak percaya. Apa ini cuma
mimpi? Aku sangat (tidak) ingin
dibangunkan kalau ini memang ternyata benara-benar hanya mimpi. Tetapi memang
ini adanya. Putra Olive Perdana utusan DKI Jakarta menjadi pemenang Olimpiade
Sains Nasional bidang Biologi. Kemana Dewa kesialan yang kemarin-kemarin
membuntutiku? Sudahlah, nikmati apa yang sedang terjadi dulu..
Senang dan bangga
seperti diriku, perasaan semua keluarga Om Irawan, sampai para bibi pembantu
juga turut menelponku ketika pengumuman di TV daerah dan swasta marak beredar
tentang olimpiade ini. Bulu kudukku sempat merinding karena Aku masih tidak
menyangka bahwa ini benar-benar terjadi. Aku menjadi anggota Tim Olimpiade
Sains Internasional. Aku sangat bangga dan terharu mengingat semua perjuangan
om Irawan dan istrinya, guru-guruku, dan semua teman-teman yang selalu
memberikan dukungan besar kepadaku.
Sebagai kado dari keluarga paman Irawan dan Tante Vina, Aku
diajak jalan-jalan ke Pulau Komodo. Bukan hanya itu, Kado yang paling istimewa
bagiku adalah aku diadopsi oleh keluarga Om Irawan sebagai anak kandung. Ini
juga menjadi kado yang paling istimewa dan yang akan paling kukenang selama
hidupku. Sekarang aku memanggil om Irawan dengan sebutan Papa, dan tante Vina
kupanggil dengan sebutan Mama. Air mata mengucur tak hentinya akibat desakan
haru yang begitu besar sesak di dadaku. Sekali lagi terlintas di benakku, Apa
lagi yang akan terjadi, karena aku cemas kalau Dewa kesialan yang selalu
menghantuiku itu kembali datang mengikutiku.
Sebagai langkah selanjutnya dari OLIMPIADE SAINS BIOLOGI
tahun 2008 lalu, aku kemudian diberi karantina di Jakarta untuk mempersiapkan
diri menjadi duta Indonesia pada Olimpiade Sains Biologi Internasional. Walau
di karantina, aku tetap sering bertemu dengan Papa dan Mama karena mereka
sering menjengukku. Mereka memang nampaknya sangat sayang kepadaku.
Pada tanggal 27 Desember 2008, kami tim olimpiade
Internasional bidang Biologi sebanyak 12 orang bersiap untuk diberangkatkan ke
Beijing, China. Tanpa melupakan semua nasihat Ibuku yang kini ada di surga, Aku
terus berdoa dan belajar keras. Dari 183 tim dari berbagai negara, kami
bertarung memberikan yang terbaik. Dan akhirnya Alhamdulillah, kami akhirnya
bisa berdiri di 10 besar kompetisi itu. Sangat membanggakan. Kabar yang lebih
membahagiakan adalah ide-ide inovasi yang kami paparkan di babak sepuluh besar
ini akhirnya diapresiasi dan lulus ke babak lima besar. Betapa riangnya kami saat
itu. Untuk tiba di babak ini saja sudah sangat, sangat, dan sangat (belum)
membanggakan bagi kami. Segera kuberitahukan kabar gembira ini kepada Papa dan
Mamaku. Di selesai shalat Isyaku ini, aku berdoa, berterimakasih kepada Allah,
dan kudoakan Ayah, Ibu, dan Semua kakak-kakakku agar mereka diberikan tempat
yang layak di sisi-Nya. Tak kulupa ucapan terima kasih kepada Allah yang telah
mengantarku hingga berada di tempat ini.
Babak lima besarpun tiba. Semua teman rekan-rekan setimku
mulai guncang karena gugup menghadapi kompetisi ini. Wajar saja, hanya kami
yang mungkin menurut kami paling (tidak) siap menghadapi lima besar kompetisi
ini. Aku kemudian berinisiatif membangkitkan kembali semangat mereka. “Ayo
teman-teman! Kita harus semangat! Berdiri di tempat ini tentu bukan hanya
sekedar kebetulan. Semuanya berkat perjuangan kita bersama! Ayo kita buktikan
kalau semua harapan orangtua kita, guru-guru kita, dan berjuta harapan orang
Indonesia lainnya yang ada di pundak kita saat ini dapat kita wujudkan dengan
tekad dan keyakinan yang kuat. Ayo kita usahakan yang terbaik! Kita pasti bisa
dengan kerja keras dan beribu doa yang telah kita lakukan selama ini! Aku yakin kita anak Indonesia, dan kita pasti
bisa!“
Tak kusangka, respon teman-temanku yang hening sesaat itu
menjadi sangat menggebu-gebu bagaikan api yang baru saja memakan kayu bakar
yang kering dan tertumpah minyak. Sangat membara. Mata mereka kemudian menjadi
sangat cerah dan memancarkan energi positif yang begitu besar. Aku merasakan
atmosfer semangat yang membara itu memang sangat-sangat besar. Aku sempat
merinding merasakan semangat yang berkobar itu, kemudian membuatku seakan
terkontak energi yang sangat besar dan akhirnya membuat ku dan teman-temanku
ini bekerja semaksimal mungkin. Kalaupun kalah, setidaknya Aku bangga karena
kami kalah dengan kondisi kalah terhormat.
Setelah babak lima
besar akhirnya diumumkanlah pemenang olimpiade biologi Internasional ini.
Karena begitu gugup, aku ke kamar kecil sesaat sebelum pengumuman. Di kaca
dinding WC itu kemudian kutatap dalam-dalam mataku sendiri, kemudian aku
bertanya “Kamu sudah siap? Apa kamu sudah benar-benar siap dengan kalah atau
menangnya kamu di kompetisi ini? Ingatlah bahwa ada berjuta-juta harapan sedang
kamu pikul di pundakmu saat ini. Apa kamu sudah siap?”
Kemudiankurasakan
hati kecilku sendiri yang menjawab dengan tegas “Ya! Aku memang sudah
sangat siap. Siap atau tidak siap kondisi fisikku, kondisi mentalku menyatakan
siap dengan semua yang akan teradi. Aku
sudah berjuang sangat keras hingga berada di tempat ini. Suatu kebanggaan besar
untuk berdiri di tempat ini. Tidak semua orang bisa sampai di sini. Menang atau
kalah, Aku sudah sangat siap karena kami sudah memberikan yang terbaik.” Tak
kurasa, air mataku sudah membanjiri lagi pipiku ini. Kondisi yang begitu hening
ini membuat aku menjadi entah sangat merasakan keharuan yang begitu besar.
Segera kusapu air mata itu dan aku kemudian bersegera kembali menuju ke tempat
pengumuman.
Setelah keluar dari kamar kecil itu, kulihat salah seorang
temanku mengucurkan air mata. Saat itu mataku sih memang masih merah dan
berkaca-kaca. Yang lainnya kulihat
saling berpelukan dengan mata yang berkaca-kaca pula. “Apa yang terjadi?”
benakku berucap.
Aku menjadi sangat
bingung dan penasaran dengan kejadian apa yang baru saja kulewatkan. Mengapa
semua orang terlihat haru dan seakan ikut merasakan apa yang baru saja
kurasakan. Farhan berjalan kearahku. Kupandangi matanya yang merah sedang
menangisi sesuatu yang Aku sendiripun belum tahu.
“Olive! Kamu adalah motivator yang cerdas dan handal!” Hanya
itu yang Ia katakan. Farhan memegang kedua pundakku dan kemudian diam hening
tanpa kata lagi. Ia hanya mengucurkan air matanya yang kulihat sangat deras.
Aku sebenarnya belum sepenuhnya paham dengan perkataan Farhan. Setelah beberapa
menit terdiam, Farhan kembali berbicara. “Idemu tentang inovasi bioteknologi
itu diterima dan memenangkan olimpiade ini Oliv! Gue bangga bisa kenal kamu
Liv! Kamu bakar semangat kami semua dan kemudian menggagas sebuah ide yang bisa
mengubah masa depan. Luar biasa!” Senyum Farhan mulai Nampak diantara ekspresi
sedihnya sedari tadi mengalir di hadapanku. Entah Selama beberapa menit itu Aku
merasa sangat hening padahal Aku sedang berada di tengah gemuruh tepuk tangan
dan sorak-soray orang-orang yang hadir di acara ini.
Aku tak menyangka, tim kami dari Indonesia memenangkan babak
lima besar dan akhirnya memperoleh medali emas kompetisi ini. Sekali lagi dalam
hidupku, semua orang mengucurkan air mata dan seakan tak ada henti-hentinya.
Termasuk air mata yang megucur di pipiku ini. Air mata haru ini begitu deras
mengalir mengingat semua perjuangan kami, perjuangan pembimbing kami, orangtua
kami, teman-teman kami, semuanya. Kami naik ke panggung megah dan diperhatikan
ribuan pasang mata dengan iringan tepuk tangan yang bergemuruh dan sorak-soray
orang-orang yang hadir di acara ini. Aku berdiri di tempat ini. Aku bangga!
Seutas medali emas kemudian dikalungkan di leherku dan begitu pula di leher
teman-temanku. Kami turun dengan berkalung medali emas. Suatu momen yang paling
membahagiakan di dalam hidupku dan tidak akan kulupakan sepanjang hayatku.
Putra Olive Perdana, 16 Tahun, anak Indonesia, satu dari 12 orang Tim Olimpiade
Biologi Internasional pulang dengan medali emas. Subhanallah. Andai Ayah dan Ibu
masih ada. Andai Kakak-kakakku masih ada, mereka juga akan ikut tersenyum
bangga menyaksikan prestasi kami ini. Semoga mereka tenang di alam sana.
Setibaku di Tanah Air, aku dijemput oleh banyak sekali
masyarakat yang tak sabar menyaksikan tibanya Tim Olimpiade Biologi
Internasional yang pulang membanggakan Indonesia. Mulai dari pejabat-pejabat
negeri, orang-orang terdekat kami, pokoknya ada ribuan orang yang memadati
bandara Halim saat itu, termasuk para reporter, serta teman-teman kami semua
hingga Nampak seperti semut-semut yang mengerumuni sekeping biang gula. Semua
menjemput kami dengan rasa bangga. Di sini kulihat begitu banyak pejabat yang
hadir dan bersalaman dengan kami, Bapak presiden, Menteri Pendidikan, dan
pejabat lainnya yang tak bisa kusebutkan satu per satu. Papa dan Mamaku
langsung memelukku dengan air mata haru mereka yang tak hentinya mengalir. Air
mataku secara otomatis kembali mngalir deras hanyut dalam keharuan itu.
Sesaat, aku berpikir ke mana dewa sial yang dulu sering
membuntuti aku. Apakah dewa kesialan memang sedang libur panjang, atau dia
sudah lengser dari hidupku, kuacuhkan pikiran itu dan aku kembali menikmati apa
yang saat ini terjadi. Aku sadar semua ini berkat dorongan dari Papa dan Mama,
serta semua guru-guruku, teman-temanku, termasuk dorongan kedua orang tuaku
yang telah tenang di alam sana. Tanpa mereka semua, kami tidak mungkin bisa
seperti ini. Terima Kasih Tuhan, Terima kasih atas semuanya yang kau berikan di
balik hikmah dari tangis yang tak kunjung padam.
0 comments:
Post a Comment