Innalillahi wa inna ilaihi rojiun
Malam tadi, kesedihan menghampiri kala mendengar berita duka meninggalnya Bapak B.J Habibie, presiden ketiga Republik ini. Membaca berita itu tadi malam sontak cukup mengagetkan. Ada rasa tidak percaya, terlebih ketika satu-dua hari sebelumnya juga beredar berita yang sama yang ternyata sekadar berita bodong atau hoax. Tapi kabar yang aku baca terakhir ini benar-benar terkonfirmasi, dan jenazah almarhum akan dimakamkan siang hari. Di berita juga dikabarkan sejumlah pejabat negara turut langsung untuk menghadiri upacara pemakaman dan melepas kepergian beliau. Upacara ini dipimpin langsung oleh presiden Joko Widodo.
Tentu bangsa ini juga merasakan kehilangan yang mendalam, mengenang jasa-jasa dan perjuangan beliau memikirkan berbagai persoalan bangsa yang dihadapi pasca krisis 1998. Juga bahkan masa-masa kepemimpinan Jokowi yang banyak melibatkan beliau menjadi salah satu penasihat dalam merespon persoalan-persoalan negeri yang terjadi. Di lain sisi, Bapak B.J Habibie adalah manusia super yang dikenal dengan kecerdasan dan prestasinya semasa muda, yang kisahnya banya menjadi inspirasi anak-anak generasi muda untuk bisa turut menjadi seperti beliau. Belum lagi soal kisah asmara, betapa kisah kasih beliau bersama almarhumah Ibu Ainun dulu adalah kisah indah romantisme cinta abadi yang terkenang indah hingga diabadikan dalam film khusus: Habibie dan Ainun. Sungguh inspirasi yang sangat besar dari beliau, semoga kepergiannya adalah cahaya dan bahagia, seperti terakhir kali beliau ungkapkan di media di hadapan Mata Najwa tentang menghadapi kematian.
“Dulu saya takut mati, tapi sekarang tidak. Karena saya yakin, selain Ibu saya dan keluarga-keluarga, ada Ainun yang pertama kali menjemput di sana.”
Dua hari yang lalu, Paguyuban Dimas Diajeng Jogja juga merasakan duka mendalam dari kabar meninggalnya senior kami, Indra Hari Saputra, atau yang kami kenal dengan Dimas Indra (Dimas Jogja 2011). Aku dan beberapa teman Dimas Diajeng berkesempatan untuk menghadiri langsung upacara pemakaman beliau yang dilaksanakan di rumahnya, Jalan Imogiri Barat.
Setibanya di rumah duka, aku langsung menyempatkan diri buat mendoakan dan menyolatkan langsung jenazah yang disemayamkan. Beberapa saat kemudian jenazah diberangkatkan untuk dimakamkan di Makam Suci Ngancar, Imogiri yang tidak jauh dari rumah duka. Di siang hari itu aku mendapatkan kesempatan langsung untuk turut serta membopong jenazah bersama lima orang pria paruh baya lainnya, dari rumah duka ke makam.
Salah satu pengalaman pertama sebenarnya untuk menjadi penggotong jenazah.
Dulu rasanya aku sebegitu pecundangnya untuk menghadapi suasana berkabung ketika ada tetangga atau kelurga yang meninggal dunia. Sekadar melihat jenazah saja kadang rasanya gugup sekali apalagi untuk membopong langsung seperti yang kulakukan ini. Tapi tahun-tahun terakhir, dengan kepergian keluarga, tetangga, sampai almarhum Ayah sendiri empat tahun yang lalu membuat semuanya berubah. Pada akhirnya aku semakin kuat dalam memahami bahwa bagaimanapun kematian itu mutlak, yang setiap kita yang bernyawa pasti akan mengalami.
Sekarang rasanya justru menghadiri upacara pemakaman adalah salah satu agenda wajib yang harus kudatangi kala mendengar kabar duka, terlebih kalau itu adalah orang-orang yang ada di sekitar lingkup pertemanan atau keluarga dekat. Menghadiri prosesi ini tidak hanya simbol ucapan turut berbelasungkawa untuk duka yang dialami keluarga yang ditinggalkan, namun terlebih juga menjadi pengingat diri sendiri bahwa suatu saat entah kapan dan di mana, kitapun akan sampai dan mengalami hal yang sama.
“Pernah ga kalian berpikiran soal ini? Soal mati”
Pertanyaan Yosa di tengah kami melayat di rumah duka. Pertanyaan Yosa ini benar menarik. Dan memang butuh kecakapan spiritual untuk lebih dari sekedar menjawab ya.
Beberapa dari kita, termasuk aku sendiri kadang lalai dan terlampau candu menikmati hidup. Sampai lupa bahwa akan datang saatnya kematian. Mengingat kematian rasanya justru positif untuk motivasi diri sendiri. Selalu menjadi momentum pengingat agar bisa membangun kepribadian yang baik di tengah teman-teman dan orang lain di sekitar. Bagaimana proses kematian itu akan kuhadapi, Mau seperti apa aku dikenang, dan bahkan sesederhana siapa saja yang akan datang di upacara pemakamanku kelak. Semoga ini akan menjadi pengingat, dan kita sama-sama bisa jauh lebih mawas diri. Pada saatnya nanti, akan tiba kematian yang datang menjemput kita sendiri.
Dan semoga di saat itu, kita pergi dengan siap, membawa bekal ibadah dan kebaikan yang diterima, prosesi kematian yang dimuliakan, dan dikenang baik oleh teman, keluarga dan siapa saja yang pernah mengenal.
Malam tadi, kesedihan menghampiri kala mendengar berita duka meninggalnya Bapak B.J Habibie, presiden ketiga Republik ini. Membaca berita itu tadi malam sontak cukup mengagetkan. Ada rasa tidak percaya, terlebih ketika satu-dua hari sebelumnya juga beredar berita yang sama yang ternyata sekadar berita bodong atau hoax. Tapi kabar yang aku baca terakhir ini benar-benar terkonfirmasi, dan jenazah almarhum akan dimakamkan siang hari. Di berita juga dikabarkan sejumlah pejabat negara turut langsung untuk menghadiri upacara pemakaman dan melepas kepergian beliau. Upacara ini dipimpin langsung oleh presiden Joko Widodo.
Tentu bangsa ini juga merasakan kehilangan yang mendalam, mengenang jasa-jasa dan perjuangan beliau memikirkan berbagai persoalan bangsa yang dihadapi pasca krisis 1998. Juga bahkan masa-masa kepemimpinan Jokowi yang banyak melibatkan beliau menjadi salah satu penasihat dalam merespon persoalan-persoalan negeri yang terjadi. Di lain sisi, Bapak B.J Habibie adalah manusia super yang dikenal dengan kecerdasan dan prestasinya semasa muda, yang kisahnya banya menjadi inspirasi anak-anak generasi muda untuk bisa turut menjadi seperti beliau. Belum lagi soal kisah asmara, betapa kisah kasih beliau bersama almarhumah Ibu Ainun dulu adalah kisah indah romantisme cinta abadi yang terkenang indah hingga diabadikan dalam film khusus: Habibie dan Ainun. Sungguh inspirasi yang sangat besar dari beliau, semoga kepergiannya adalah cahaya dan bahagia, seperti terakhir kali beliau ungkapkan di media di hadapan Mata Najwa tentang menghadapi kematian.
“Dulu saya takut mati, tapi sekarang tidak. Karena saya yakin, selain Ibu saya dan keluarga-keluarga, ada Ainun yang pertama kali menjemput di sana.”
Dua hari yang lalu, Paguyuban Dimas Diajeng Jogja juga merasakan duka mendalam dari kabar meninggalnya senior kami, Indra Hari Saputra, atau yang kami kenal dengan Dimas Indra (Dimas Jogja 2011). Aku dan beberapa teman Dimas Diajeng berkesempatan untuk menghadiri langsung upacara pemakaman beliau yang dilaksanakan di rumahnya, Jalan Imogiri Barat.
Setibanya di rumah duka, aku langsung menyempatkan diri buat mendoakan dan menyolatkan langsung jenazah yang disemayamkan. Beberapa saat kemudian jenazah diberangkatkan untuk dimakamkan di Makam Suci Ngancar, Imogiri yang tidak jauh dari rumah duka. Di siang hari itu aku mendapatkan kesempatan langsung untuk turut serta membopong jenazah bersama lima orang pria paruh baya lainnya, dari rumah duka ke makam.
Salah satu pengalaman pertama sebenarnya untuk menjadi penggotong jenazah.
Dulu rasanya aku sebegitu pecundangnya untuk menghadapi suasana berkabung ketika ada tetangga atau kelurga yang meninggal dunia. Sekadar melihat jenazah saja kadang rasanya gugup sekali apalagi untuk membopong langsung seperti yang kulakukan ini. Tapi tahun-tahun terakhir, dengan kepergian keluarga, tetangga, sampai almarhum Ayah sendiri empat tahun yang lalu membuat semuanya berubah. Pada akhirnya aku semakin kuat dalam memahami bahwa bagaimanapun kematian itu mutlak, yang setiap kita yang bernyawa pasti akan mengalami.
Saat mengantar jenazah Dimas Indra menuju pemakaman |
“Pernah ga kalian berpikiran soal ini? Soal mati”
Pertanyaan Yosa di tengah kami melayat di rumah duka. Pertanyaan Yosa ini benar menarik. Dan memang butuh kecakapan spiritual untuk lebih dari sekedar menjawab ya.
Beberapa dari kita, termasuk aku sendiri kadang lalai dan terlampau candu menikmati hidup. Sampai lupa bahwa akan datang saatnya kematian. Mengingat kematian rasanya justru positif untuk motivasi diri sendiri. Selalu menjadi momentum pengingat agar bisa membangun kepribadian yang baik di tengah teman-teman dan orang lain di sekitar. Bagaimana proses kematian itu akan kuhadapi, Mau seperti apa aku dikenang, dan bahkan sesederhana siapa saja yang akan datang di upacara pemakamanku kelak. Semoga ini akan menjadi pengingat, dan kita sama-sama bisa jauh lebih mawas diri. Pada saatnya nanti, akan tiba kematian yang datang menjemput kita sendiri.
Dan semoga di saat itu, kita pergi dengan siap, membawa bekal ibadah dan kebaikan yang diterima, prosesi kematian yang dimuliakan, dan dikenang baik oleh teman, keluarga dan siapa saja yang pernah mengenal.
0 comments:
Post a Comment